Waktu kecil, hidup saya begitu menyenangkan. Waktu TK, lebih menyenangkan lagi. Tidak ada hal lain yang bisa menandingi asyiknya datang ke sekolah dengan seragam biru-putih lucu lalu melewati koridor TK yang penuh dengan tempelan warna-warni di seluruh permukaan dinding dan akhirnya masuk di kelas yang telah ditentukan. Di dalam kelas pun, sama menariknya: duapuluhan kursi dan meja berukuran mini yang dicat warna-warni, diatur dalam formasi kelompok empat-empat, dengan loker yang sama mininya dan berwarna-warni di pojok kelas. Belum lagi jendela dengan semua hiasan-hiasannya; gantungan lebah, kupu-kupu, sedotan. Atau beberapa meja yang penuh dengan kotak-kotak mainan: macam mainan bongkar pasang, plastisin, dan balok-balok kayu untuk rumah-rumahan. Ketika sampai di luar kelas, semua hal menarik itu terkalahkan telak oleh jejeran mainan-mainan nan mengasyikkan di halaman: papan seluncuran (alias selurutan), ayunan, bak pasir, dan papan titian (bukan yang artis itu).
Intinya: waktu TK, dunia ini begitu indah.
Lalu ketika sedikit lebih dewasa: Sekolah Dasar. Kelas satu, saya mulai disiksa (oke, ini memang berlebihan) oleh sistem pengajaran menulis tegak bersambung...
yeah. Saya mengaku saya tidak pernah sukses di pelajaran menulis ini, bahkan bagaimana cara menulis F besar saja sering lupa. Tetapi selain itu, dunia kelas satu masih begitu indah, seindah waktu saya masih TK. Kelas dua dan tiga, saya tercekik oleh kemampuan menulis tulisan arab saya yang super pas-pasan. Saya bahkan pernah nyaris tertinggal shalat gara-gara tugas menulis saya yang nggak selesai lantaran disalahin terus ama gurunya. (Maafkan saya Bu, saya sering lupa bentuk huruf 'fa' dan 'ain' kalau di tengah kata). Di sini, saya juga mulai mendapat tugas mingguan. Kelas empat dan kelas lima saya lalui dengan tiada kesulitan berarti. Begitupula kelas enam.
Kelas enam saya; walaupun sudah dicekokin dengan UASBN, refresh (semacam tryout mingguan-nya sekolah saya), try out (yang ini tryout bulanan), saya masih baik-baik saja. Saya belum ambil pusing dengan gimana hasil UASBN saya nanti. Rada masa bodoh juga. Karena waktu itu, semua pelajaran masih saya kuasai, dan seingat saya belum ada kesulitan berarti sewaktu itu.
Saya? Lulus dengan danem 27 sekian. Lumayan buat masuk ke SMP favorit di Surabaya, tapi toh ujungnya saya masuk SMP swasta juga.
Waktu SMP, hidup saya mulai berat. Singkat saja: Kelas 7 saya nyaris pingsan gara-gara aljabar (dulu saya pernah dapat nilai dibawah 6 buat materi ini). Kelas 8? Saya pusing mampus, nyaris pingsan pula gara-gara gradien. Kelas 9 apa? Peluang dan kesempatan?
Saya juga mulai ditegur, suruh belajar. Padahal perasaan waktu SD saya belajar enjoy-enjoy aja deh, tapi kok waktu SMP jadi kayak penyiksaan batin gini ya? Apalagi saya nggak ikut kursus macam Prima**ma, S*C, G****ha Operation, etc, etc. Makin lengkap lah jadinya. Huhuhu.
Yeah, sedahsyat apapun saya mengeluh,
beginilah hidup. This is the life. The jungle. The sea. Dan seberapapun saya yakin saya tidak akan mampu menghadapinya, saya pasti bisa. Kenapa? Karena Tuhan memberikan ujian sesuai dengan kemampuan makhluknya masing-masing. Bener gitu toh? :)
Dan akhirnya, ending dari tulisan si pengeluh yang amat-panjang ini, saya mau nyanyi. Ehm.
Taman yang paling indah
hanya taman kami
Taman yang paling indah
hanya taman kami
Tempat bermain
berteman banyak
itulah taman kami
taman kanak-kanak
Happy Weekend, thanks for reading this long-yeah post.
Cheers!
.ulaai